Sejak dari Akal
SEJAK DARI AKAL
Suatu hari saat marung kami disamperi sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Sebagaimana lazimnya bertemu sahabat lama kami kangen-kangenan sambil gojlok-gojlokan. Di tengah riuh tawa saat gegojekan, sahabat saya ini bertanya,
"Gimana menurutmu, Kang? Kok bisa dawuh Mbah Nun dan Gus Baha beda soal sikap kita terhadap wabah corona ini. Kata Gus Baha tidak perlu takut berlebihan kepada selain Allah sampai meninggalkan ibadah mahdhah. Sementara menurut Mbah Nun kita harus mengikuti anjuran pemerintah demi keselamatan bersama."
Rupanya teman saya ini faham setelah lama tidak ikut Maiyahan sekarang saya sering mengaji kepada Gus Baha melalui YouTube. Saya menjawab sekenanya,
"Karena Gus Baha seorang ulama, praktisi ilmu. Maka beliau berbicara sesuai dengan keahliannya sebagai ahli ilmu. Sementara Mbah Nun adalah orangtua yang setiap hari ngeloni anak putunya, membesarkan hati mereka, menumbuhkan harapan dan semangat mereka. Jadi, ketika beliau berpesan agar manut anjuran pemerintah, itu semata demi kebaikan anak cucunya agar terhindar dari wabah."
Senyum sahabat saya mendengar jawaban tersebut menandakan ia tidak puas, ia butuh jawaban yang memuaskan. Banyak uneg-uneg memancar di sorot matanya yang ingin ia perdebatkan atas jawaban saya. Tapi kami sama-sama menahan diri untuk tidak merusak suasana gembira itu dengan perdebatan konyol yang tidak mengenyangkan.
Jawaban yang saya lontarkan itu tentu ngawur saja. Saya tidak pernah sekalipun bertemu dengan beliau berdua. Tentu saya tidak tahu alasan kedua fatwa itu lahir dari dua tokoh yang dicintai banyak masyarakat tersebut. Jawaban atas pertanyaan kawan saya itu sebenarnya lebih banyak saya eksplorasi di dalam diri saya sendiri setelah pertemuan itu usai. Dan jawaban yang muncul dalam benak saya adalah pertanyaan-pertanyaan.
"Mengapa dalam keadaan apa pun orang selalu fokus pada perbedaan?"
"Mengapa dalam setiap hal yang berbeda orang sibuk mencari titik yang bisa dibenturkan?"
"Mengapa bahkan dalam keadaan nyawa semua manusia terancam, nanusia masih juga sibuk berebut untuk mencari oknum yang bisa disalahkan?"
Saya lalu membuat kesimpulan sementara bahwa kita sebenarnya sudah tidak adil sejak dalam fikiran. Kita sudah picik menyikapi apa pun saja bahkan sebelum sebuah kalimat lahir menjadi ucapan. Mengapa kita tidak belajar dari hal yang termudah dan diimpikan oleh semua akal hewani manusia tentang perbedaan?
Manusia saling mencintai antara lawan jenis justru karena mereka berbeda. Seorang lelaki mati-matian berjuang mendapatkan cinta seorang wanita justru karena onderdil yang mereka miliki berbeda. Jadi, berbeda itu harus, berbeda itu perlu, berbeda itu sebuah keuntungan yang apabila disikapi dengan nalar yang adil akan melahirkan kenikmatan. Bayangkan jika kita menggunakan nalar picik tentang perbedaan itu untuk menyikapi 'lingga' dan 'yoni' pada anatomi manusia. Maka manusia akan berebut untuk mengesahkan UU LGBT. Pasti. Karena mereka menghendaki persamaan di segala bidang, termasuk di medan pertempuran.
Walhasil dengan kebiasaan kita memandang bahwa perbedaan adalah benturan, maka setiap hari kita disuguhi pertengkaran-pertengkaran, caci-maki, debat kusir, apa pun saja istilahnya, yang sebenarnya sangat tidak perlu terjadi.
Maka mari kita lihat, siapa saja yang nalarnya tidak adil sejak dalam fikiran pada orang-orang yang komentar di bawah ini.
Post a Comment for "Sejak dari Akal"