Perjuangan Kiai Subchi Melawan Penjajah
Revolusi kemerdekaan Indonesia ditopang oleh perjuangan kaum santri dan barisan Kiai yang menyelamatkan negeri. Sayangnya, kisah perjuangan para kiai dan santri, tenggelam dalam narasi sejarah Indonesia.
Salah satunya, Kiai Subchi Parakan, yang dikenal dengan "Kiai Bambu Runcing". Bagaimana kisah hidup dan perjuangan Kiai Subchi?
Kiai Subchi lahir di Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, sekitar tahun 1850. Subchi, atau sering disebut dengan Subeki, merupakan putra sulung Kiai Harun Rasyid, penghulu masjid di kawasan ini.
Subchi kecil bernama Muhammad Benjing, nama yang disandang ketika lahir. Setelah menikah, nama ini diganti menjadi Somowardojo, kemudian nama ini diganti ketika naik haji, menjadi Subchi.
Kakek Kiai Subchi, Kiai Abdul Wahab merupakan keturunan seorang Tumenggung Bupati Suroloyo Mlangi, Yogyakarta. Kiai Abdul Wahab inilah yang menjadi pengikut Pangeran Dipanegara, dalam periode Perang Jawa (1825-1830). Ketika laskar Dipanegara kalah, banyak pengikutnya yang menyembunyikan diri di kawasan pedesaan untuk mengajar santri. Jaringan laskar kiai kemudian bergerak dalam dakwah dan kaderisasi santri.
Kiai Wahab kemudian mengundurkan diri untuk menghindar dari kejaran Belanda. Ia menyusuri Kali Progo menuju kawasan Sentolo, Godean, Borobudur, Bandongan, Secang Temanggung, hingga singgah di kawasan Parakan.
Kawasan Parakan merupakan titik penting arus transportasi kawasan Kedu, yakni sebagai persimpangan Banyumas, Kedu, Pekalongan dan Semarang. Keluarga Kiai Abdul Wahab kemudian menetap di Parakan, sebagai tempat bermukim untuk menggembleng santri dan menyiapkan perlawanan terhadap penjajah.
Pasukan Belanda henti-hentinya mengejar pengikut Dipanegara di berbagai pelosok Jawa, terutama Yogyakarata, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ketika Ibunda Kiai Subchi mengandung, Belanda masih sering mengejar keturunan Kiai Wahab, serta santri-santri yang diduga menjadi pengikut Dipanegara.
Pada tahun 1885, Subchi kecil berada di gendongan ibundanya untuk mengungsi dari kejaran pasukan Belanda.
Subchi kecil dididik oleh orangtuanya, dengan tradisi pesantren yang kuat. Ia kemudian nyantri di pesantren Sumolangu, asuhan Syekh Abdurrahman Sumolangu (ayahanda Kiai Mahfudh Sumolangu, Kebumen).
Dari ngaji di pesantren inilah, Kiai Subchi menjadi pribadi yang matang dalam ilmu agama hingga pergerakan kebangsaan.
Parakan: Simpul Perjuangan Laskar Santri
Parakan merupakan sebuah kota kecil di Kabupaten Temanggung. Kota ini, memiliki arti penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada awal abad 20, Temanggung menjadi basis pergerakan Sarekat Islam (SI).
Kaum santri yang tinggal di Parakan, menjadi tulang punggung kaderisasi SI. Bahkan, di Parakan juga pernah diselenggarakan Kongres Sarekat Islam, yang dihadiri oleh HOS Tjokroaminoto. Pada 1913, anggota Sarekat Islam di Parakan, berjumlah 3.769 orang. Cabang SI Temanggung dibuka pada 1915, dengan jumlah anggota 4.507 (Thamrin, 2008).
Di Parakan, Temanggung, masa sebelum
kemerdekaan sangat memprihatinkan bagi rakyat. Hal ini, karena kondisi ekonomi sangat sulit dan politik pemerintah Hindia Belanda yang memeras rakyat dengan tanam paksa, maupun sistem kerja paksa. Ketika Jepang menduduki Jawa, warga Temanggung juga menanggung beban yang sulit. Kewajiban Romusha menjadi beban yang sangat berat bagi rakyat Parakan di Temanggung.
Pemberlakukan romusha menjadikan warga terlantar, hidup sengsara, lahan pertanian terbengkalai, hingga sebagian warga menderita busung lapar karena sulitnya memperoleh makanan. Bahkan, kain karung goni sebagai penutup tubuh, menjadi pemandangan biasa pada masa itu (Darban, 1988). Warga Parakan, Temanggung juga banyak yang direkrut sebagai romusha. Mereka dikirim ke Banten, serta ke wilayah Malaysia dan Myanmar.
Pada masa kemerdekaan, Parakan Temanggung menjadi simpul pergerakan untuk melawan penjajah. Ketika Pemerintah Hindia Belanda berusaha menggunakan strategi pemisahan wilayah, berupa garis demarkasi Van Mook, warga Temanggung juga bergerak untuk melawan diskriminasi politik yang dilancarkan Hindia Belanda. Pada saat itu, dibentuklah Barisan Muslimin Temanggung (BMT). Barisan ini dipelopori oleh kiai-santri, yang bertujuan untuk memobilisasi kekuatan rakyat melawan penjajah. BMT didirikan pada 30 Oktober 1945 di masjid Kauman Parakan.
Sebelum adanya BMT, warga Parakan Temanggung bergerak dalam jaringan Barisan Keamanan Rakyat (BKR). Warga Parakan yang tergabung dalam BKR sempat melakukan serangan terhadap sembilan bekas Tentara Jepang yang akan menuju Ngadirejo. Ketika melewati Parakan, pasukan Jepang diserbu oleh warga yang terkonsolidasi dalam BKR. Peristiwa penyerangan ini, dikenal sebagai Peristiwa Batuloyo (Gunardo, 1986).
Setelah adanya Barisan Muslimin Temanggung, operasi warga untuk melawan penjajah semakin gencar. Santri-santri yang tergabung dalam barisan ini, menjadi bertambah semangat dengan dukungan kiai, terutama Kiai Subchi Parakan.
Beberapa kali, BMT berhasil menyerbu patroli militer Belanda yang lewat kawasan Parakan. Perjuangan heroik BMT dan dukungan Kiai Subchi, mengundang simpatik dari jaringan pejuang santri dan militer.
Beberapa tokoh berkunjung ke Parakan, untuk bertemu Kiai Subchi dan pemuda BMT: Jendral Soedirman (1916-1950), Kiai Wahid Hasyim (1914-1953), Kiai Zaenal Arifin (Hizbullah), Kiai Masykur (Sabilillah), Kasman Singadimedja (Jaksa Agung), Mohammad Roem, Mr. Wangsanegara, Mr. Sujudi, Roeslan Abdul Gani dan beberapa tokoh lainnya.
Ketika pasukan Belanda menyerbu kembali Jawa pada Desember 1945, barisan santri dan kiai bergerak bersama warga untuk melawan. Pertempuran di Ambarawa pada Desember 1945 menjadi bukti nyata. Bahkan, Jendral Sudirman berkunjung ke kediaman Kiai Subchi untuk meminta doa berkah dan bantuan dari Kiai Subchi. Jendral Sudirman sering berperang dalam keadaan suci, untuk mengamalkan doa dari Kiai Subchi. Dari narasi ini, dapat diketahui bahwa Jenderal Sudirman merupakan santri Kiai Subchi.
Kiai Bambu Runcing, Kiai Penggerak
Kiai Subchi dikenal sebagai seorang yang murah hati, suka membantu warga sekitar yang kekurangan. Jiwa bisnisnya tumbuh seiring dengan kesuburan tanah di lereng Sindoro – Sumbing. Pertanian menjadi andalan, dengan pelbagai macam tanaman yang menjadi ladang pencaharian warga. Saat ini, Parakan dikenal sebagai kawasan andalan dengan hasil tembakau terbaik di Jawa. Kiai Subchi, pada waktu itu, sering membagikan hasil pertanian, maupun
menyumbangkan lahan kepada warga yang tidak memilikinya. Inilah kebaikan hati Kiai Subchi, hingga disegani warga dan memiliki kharisma kuat.
Ketika barisan Kiai mendirikan Nahdlatul Ulama pada 1926, Kiai Subchi turut serta dengan mendirikan NU Temanggung. Beliau menjadi Rais Syuriah NU Temanggung, didampingi Kiai Ali (Pesantren Zaidatul Maarif Parakan) dan Kiai Raden Sumomihardho, sebagai wakil dan sekretaris. Nama terakhir merupakan ayahanda Kiai Muhaiminan Gunardo, yang menjadi tokoh pesantren dan NU di kawasan Temanggung-Magelang. Kiai Subchi juga sangat mendukung anak-anak muda untuk berkiprah dalam organisasi. Pada 1941, Anshor Nahdlatul Oelama (ANO) mengadakan pengkaderan di Temanggung, yang langsung dipantau oleh Kiai Subchi.
Kiai Subchi dikenal sebagai kiai 'alim dan pejuang yang menggelorakan semangat pemuda untuk bertempur melawan penjajah. Kiai ini, dikenal sebagai "Kiai Bambu Runcing", karena pada masa revolusi meminta pemuda-pemuda untuk mengumpulkan bambu yang ujungnya dibuat runcing, kemudian diberi asma' dan doa khusus. Dengan bekal bambu runcing, pemuda-pemuda berani tampil di garda depan bertarung dengan musuh. Bambu runcing inilah yang kemudian menjadi simbol perjuangan warga Indonesia untuk mengusir penjajah.
Dalam catatan Kiai Saifuddin Zuhri (1919-1986), Kiai Subchi menjadi rujukan askar-askar yang berjuang di garda depan revolusi kemerdekaan. "Berbondong-bondong barisan-barisan laskar dan TKR menuju Parakan, sebuah kota kawedanan di kaki dua gunung pengantin Sindoro dan Sumbing. Di antaranya yang terkenal adalah Hizbullah di bawah pimpinan Zainul Arifin, Barisan Sabilillah di bawah pimpinan Kiai Masykur", Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia di bawah pimpinan Bung Tomo, "Barisan Banteng" di bawah pimpinan dr. Muwardi, Laskar Rakyat di bawah pimpinan Ir. Sakiman, Laskar Perindo di bawah pimpinan Krissubbanu dan masih banyak lagi. Sudah beberapa hari ini, baik TKR maupun badan-badan kelaskaran berbondong-bondong menuju Parakan".
Kiai Subchi dikenal sebagai sosok sederhana, zuhud dan sangat tawadhu'. Ketika banyak pemuda pejuang yang sowan untuk minta doa dan asma', Kiai Subchi justru menangis tersedu. "KH Wahid Hasyim, KH. Zainul Arifin, dan KH Masjkur pernah mengunjunginya. Dalam pertemuan itu, Kiai Subchi menangis karena banyak yang meminta doanya. Ia merasa tidak layak dengan maqam tersebut. Mendapati pernyataan ini, tergetarlah hati panglima Hizbullah, KH. Zainul Arifin, akan keikhlasan sang kiai. Tapi, Kiai Wahid Hasyim menguatkan hati Kiai Bamburuncing itu, dengan mengatakan bahwa apa yang dilakukannya sudah benar", catat Kiai Saifuddin Zuhri dalam memoarnya "Berangkat dari Pesantren".
Kiai Subchi merupakan teladan dalam kedermawanan, pengetahuan dan perjuangan. Sosok Kiai Subchi menjadi panutan bangsa ini untuk mengawal negeri, mengawal NKRI. Selayaknya, negara mengakuinya sebagai Pahlawan Bangsa.
*Munawir Aziz, periset Islam Nusantara, pengurus LTN PBNU (Twitter: @MunawirAziz)
Referensi:
Ahmad Adaby Darban, Sejarah Bambu Runcing, Laporan Penelitian: Fakultas Sastra UGM, 1988.
_________________________, Fragmenta Sejarah Islam di Indonesia, Surabaya: JP Books, 2008.
Ahmad Baso, Islam Nusantara, Jakarta: Pustaka Afid, 2015.
Amran Habibi, Sejarah Pencak Silat Indonesia: Studi Historis Perkembangan Persaudaraan Setia Hati Terate di Madiun Periode 1922-2000. Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009
Husni Thamrin,dkk, Geger Doorstoot: Perjuangan Rakyat Temanggung1945-1950, Temanggung: Dewan Harian Cabang, 2008.
Muhaiminan Gunardo, Bambu Runcing Parakan, Yogyakarta: Kota Kembang,1986.
Nur Laela, Perjuangan Rakyat Parakan-Temanggung dalam Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1946), Skripsi UIN Yogyakarta, 2014.
Tags:
#kiai
#pesantren
Bagikan:
SELASA 19 JANUARI 2016 12:31 WIB
KH Ahmad Shofawi, Tokoh Alim nan Dermawan
KH Ahmad Shofawi, Tokoh Alim nan Dermawan
Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan, Solo, Jawa Tengah, Rabu (20/1) mendatang, akan mengadakan peringatan haul para sesepuh pondok, salah satunya adalah KH. Ahmad Shofawi. KH. Ahmad Shofawi, putera dari Akram bin Ikram bin Thohir lahir di Kota Solo pada tahun 1879. Selain sebagai salah satu tokoh pendiri Al-Muayyad, juga dikenal sebagai seorang pengusaha yang dermawan lagi sholeh. Juga wira’i, cermat dan hati-hati dalam menjalankan syariat, tawaddhu’ dan rendah hati. Beliau sangat menyayangi ulama dan kyai-kyai serta berbahasa Jawa halus (Kromo Inggil).
Sejak kecil, ia mendapatkan pendidikan agama terutama dari sang Bapak. Setelah menginjak usia remaja, Shofawi mondok di Pesantren yang diasuh Kiai Ahmad Kadirejo Klaten guna mempelajari dan mendalami ilmu tasawuf, Thoriqoh Naqsabandi. Di pesantren ini pula ia bertemu dengan sahabatnya, KH Abdul Mannan (ayah KH Ahmad Umar), yang kelak bersama-sama mendirikan Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan.
Saat menjadi santri, Shofawi bercita-cita menghafal Al-Quran, akan tetapi hal tersebut tidak sempat terwujud. Namun disamping itu, ia juma memiliki tiga cita-cita lainnya, yaitu; berkediaman di dekat (mangku) masjid, menunaikan ibadah haji dengan kapal berbendera Islam, dan memiliki anak-anak yang mangku (mengasuh) pondok pesantren. Cita-cita tersebut, di kemudian hari, semuanya telah terwujud.
Putera-puterinya kini menjadi pengasuh berbagai pondok, antara lain KH Rozaq Shofawi (Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan Solo) dan Nyai H. Siti Maimunah Baidlowi, mendampingi suaminya KH A. Baidlowi (almarhum), mengasuh Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin di Brabo.
Kembali ke Solo, Shofawi muda kemudian menekuni dunia usaha. Di bidang dunia usaha, Kiai Shofawi terkenal sebagai pengusaha yang bonafide dan maju. Di saat orang masih menggunakan alat tenun tangan, beliau telah menggunakan alat tenun mesin, suatu yang sangat langka pada masa itu. Kualitas barang selalu dijaga, pelayanan yang baik dan barang dijual dengan layak. Kesemuanya membuat perusahaan batik dan tenun cap “Pohon Kurma” milik beliau dapat menguasai pasar Solo dan Surabaya.
Dengan kekayaannya, beliau gunakan untuk membantu berbagai macam pihak, termasuk menyediakan keperluan para pejuang kemerdekaan yang tergabung dalam barisan kiai Sabilillah maupun Hizbullah yang terkenal dengan “Pasukan Lawa-lawa”.
Tak hanya itu, Mbah Kaji Sapawi, begitu sapaan masyarakat kepadanya, turut membantu pembangunan masjid dan pesantren di berbagai daerah, antara lain 3.500 meter persegi untuk membangun pesantren, madrasah dan masjid Al-Muayyad, Laweyan Solo. Kayu jati untuk masjid di pondok pesantren Krapyak Yogyakarta-pun, atas pembiayaan beliau. Pondok pesantren lainnya juga banyak dibantunya, seperti pesantren Serang Rembang, pondok pesantren Gontor Ponorogo dan lain sebagainya.
Bantuan yang berikan di masa lampau tersebut, bahkan masih diingat oleh pengasuh pesantren generasi penerusnya. Seperti yang dituturkan salah satu putera Mbah Kaji Sapawi, KH Idris Shofawi, saat diwawancarai NU Online di kediamannya, belum lama ini (14/10).
“Dulu sewaktu saya masih muda, saya pergi ke Gontor bersama sejumlah jamaah. Di sana, pendiri Pondok Gontor Kiai Zarkasyi dalam sambutannya mengatakan ketika masih membangun Pondok Gontor, ia mengirim 3 utusan ke Solo untuk mencari tambahan donatur. Salah satunya ke Mbah Sapawi. Kemudian oleh Mbah Sapawi, dicukupi biaya yang dibutuhkan,” terang Kiai Idris.
Bangun Masjid Tegalsari
Kiai Showafi, pula yang banyak mendukung berdirinya madrasah dan masjid di Tegalsari. Tanah yang menjadi tempat untuk mendirikan masjid serta sebagian yang sekarang menjadi kompleks bangunan pesantren dan sekolah MI/SD/SMP Ta’mirul Islam di Tegalsari, merupakan wakafnya. Tanah seluas 2000 m2 (lebar 40 m, panjang 50 m) tersebut, dulunya disebut gramehan yaitu tempat untuk memelihara ikan gurami.
Saat membangun masjid tersebut beliau sangat berhati-hati, karena karena beliau dikenal sebagai Kiai wira’i (cermat dan hati-hati menjalankan syari’at), suka riyadlah (prihatin demi cita-cita luhur) serta taat kepada guru dan kiai. Kewira’i-an beliau ditandai dengan beliau memerintahkan seluruh tukang harus berwudlu sebelum berkerja, agar mereka dalam keadaan yang suci juga.
Dan atas perintah ayahnya, Masjid Tegalsari dibangun dengan tiga syarat, yaitu; 1) Dilarang mencari dana dengan mengeluarkan surat edaran ke manapun., 2) Harus dibiayai sendiri (prinsip mandiri)., 3) Bila ada dermawan lain memberi bantuan supaya diterima, tetapi tidak usah meminta bantuan. Hal ini dipegang teguh dalam pendirian masjid sampai selesai. Dana-dana yang masuk harus halal. Karena ini untuk menjaga kesucian dari pembangunan masjid Tegalsari.
Kesucian Masjid Tegalsari memang benar-benar dijaga oleh pendirinya yaitu KH Ahmad Shofawi. Saat itu Indonesia masih diduduki Belanda, dan Belanda mencurigai Masjid Tegalsari sebagai tempat persembunyian pejuang kemudian Belanda masuk tanpa melepas alaskaki dan membawa anjing pelacak.
Setelah Belanda keluar dari masjid, KH Ahmad Shofawi langsung menyujikan sendiri masjid itu, 7 kali dengan air dan salah satunya dengan pasir untuk menghilangkan najis mugholladhoh (najis besar). Dalam kesucian beliau sangat berhati-hati, dalam kesehariannya beliau mencuci pakaiannya sendiri, ini dikarenakan agar beliau dapat memastikan pakaian yang dipakai benar-benar suci.
Konsisten akhir hayat
Sebagai seorang tokoh panutan di lingkup Tegalsari, bahkan wilayah Surakarta, Mbah Kaji Sapawi menjadi sosok yang benar-benar konsisten dalam menjaga dua prinsip: Quu anfusakum wa ahlikum naaran (jagalah dirimu dan keluargamu dari Api Neraka) dan wa ta’awanu ‘alal birri wat taqwa (tolong menolonglah kalian semua dalam kebaikan dan taqwa).
“Bahkan hingga jelang akhir hayatnya, Mbah Sapawi tetap ikut mengawasi pendidikan dan ibadah putera-puterinya. Seringkali ia shalat berjamaah di masjid, berada di shaf belakang putranya yang masih kecil, seperti Pak Idris dan Pak Muid untuk mengawasi sholat mereka. Setelah sahalat kalau masih gojek, beliau menyabetkan serban sebagai peringatan masih mengawasi,” ungkap salah satu tokoh Masjid Tegalsari, Ahmaduhidjan, saat disambangi NU Online, di kediamannya, beberapa waktu lalu.
Di bidang pendidikan, imbuh Mbah Ahmadu, Mbah Sapawi juga mendatangkan beberapa ulama untuk mengajarkan pendidikan agama Islam kepada puteri-puterinya. “Mbah Kiai Shofawi mengundang sejumlah kiai antara lain KH Djauhar Keprabon, KH Mawardi Sepuh Keprabon, KH Masjhud Keprabon, dan KH Asy’ari Tegalsari.untuk datang ke rumahnya dan mengajari putra-putrinya belajar ilmu agama, dan kemudian juga turut bergabung anak putri yang lain,” ungkap dia.
Keistiqomahan beliau dalam ibadah dan berhubungan baik dalam masyarakat terjaga hingga pada usia 83 tahun, tepatnya pada tahun 1962, Kiai Shofawi wafat. Jenazah beliau dimakamkan di Maqbaroh “Pulo” Laweyan Solo. Lahu al-fatihah!
(Ajie Najmuddin)
Sumber:
- A Hakim Adnan. 1993. Sejarah Masjid Tegalsari. Solo. Asya Grafika.
- Wawancara H Ahmaduhidjan, 8 Oktober 2015.
- Wawancara KH Idris Shofawi, 2015.
RABU 13 JANUARI 2016 1:1 WIB
Kiai Amin Sepuh: Kiai Sakti di Masa Revolusi
Kiai Amin Sepuh: Kiai Sakti di Masa Revolusi
Selama ini, sejarah tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia lebih banyak diwarnai oleh narasi tentang pejuangan militer. Tokoh-tokoh pejuang yang hadir dalam sejarah nasional Indonesia, lebih banyak didominasi oleh para jendral militer yang mengangkat senjata.
<>
Padahal, dari sekian catatan sejarah tentang perjuangan kemerdekaan, ada senarai kisah para kiai dan santri pesantren yang dengan gigih memperjuangkan kemerdekaan.
Sebagian kisah para pejuang kemerdekaan dari pesantren seolah tersingkirkan dari panggung sejarah Indonesia. Naskah sejarah yang ditulis pada masa Orde Baru, atau pasca peristiwa 1965, bahkan tidak banyak yang menghadirkan sejarah pesantren dalam arus utama perjuangan kemerdekaan bangsa ini.
Tim penulisan sejarah dari Pusat Sejarah ABRI yang dikomando oleh Nugroho Notosusanto (1930-1985) seakan menenggelamkan narasi perjuangan kaum santri dalam membela kemerdekaan. Buku serial sejarah kebangsaan, Sejarah Nasional Indonesia (Seri I-VI), terbitan Direktorat Sejarah dan Tata Nilai Tradisional, Departmen Pendidikan dan Kebudayaan, di bawah komando Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoened Pusponegoro, menenggelamkan narasi perjuangan kaum santri. Padahal, ada banyak kiai dan ulama yang dengan gigih menggerakkan santri, memobilisasi massa, mengangkat senjata dan terjun langsung ke medan laga.
Salah satu Kiai yang berjuang dengan ikhlas, adalah Kiai Amin bin Irsyad, atau yang dikenal sebagai Kiai Amin Sepuh, pengasuh pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon. Bersama kiai-kiai pejuang lainnya, Kiai Amin menjadi tonggak perjuangan 10 Nopember 1945 di Surabaya, yang kemudian menjadi monumen sejarah Hari Pahlawan.
Santri Kelana
Kiai Amin bin Irsyad, lahir di Mijahan, Plumbon, Cirebon pada Jum’at 24 Dzulhijjah 1330 H/ 1879 M. Dari catatan silsilah, Kiai Amin masih merupakan keturunan dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunungjati). Dengan demikian, jalur nasab Kiai Amin jelas tersambung sebagai Ahlul Bayt.
Sejak kecil, Amin bin Irsyad sudah menunjukkan bakat sebagai santri kelana. Ia tekun mengaji kepada ayahandanya dalam ilmu-ilmu agama dan kanuragan. Pada waktu itu, ilmu kanuragan menjadi bagian penting dalam bela diri kaum santri, menghadapi jagoan-jagoan lokal dan berjuang melawan penjajah. Selepas mengaji kepada ayahanda, Amin kecil dipondokkan di pesantren Sukasari, Plered, Cirebon, bimbingan Kiai Nasuha. Kemudian, Amin kecil mengaji kepada Kiai Hasan di pesantren Jatisari, Cirebon.
Rupanya, jiwa kelana Amin kecil menjadi penuntun pencarian ilmunya. Ia mengaji ke beberapa pesantren, yakni di Pesantren Kaliwungu Kendal, Pesantren Mangkang Semarang, hingga mengaji di pesantren kawasan Tegal, asuhan Kiai Ubaidillah. Selepas suntuk mengaji di Jawa Barat dan Jawa Tengah, Amin bin Irsyad melanjutkan petualangan keilmuan (rihlah ilmiyyah) menuju kawasan Jawa Timur. Ia mengaji kepada ulama tersohor pada zamannya, yakni Syaikhona Cholil di Bangkalan, Madura. Amin muda juga mengaji kepada Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari di Jombang, selepas merampungkan ngaji di Pesantren Bangkalan. Di Tebu Ireng, Amin muda mengabdi kepada Kiai Hasyim, yang sama-sama belajar di bawah bimbingan Syaichona Cholil.
Petualangan mencari ilmu di Tanah Jawa, tidak membuat Amin muda merasa puas. Ia mengelana hingga ke tanah Hijaz. Di Makkah, Amin muda mengaji kepada Syaikh Mahfudh at-Tirmasi, ulama Nusantara yang terkenal di Tanah Hijaz yang berasal dari Termas, Pacitas, Jawa Timur. Di Makkah, Amin muda mendapatkan kesempatan untuk membantu Syaikh Mahfudh mengajar para santri, yakni mukimin yang berasal dari Nusantara.
Mengabdi di Tanah Cirebon
Ketika ayahanda Kiai Amin masih hidup, pernah berwasiat agar putranya mengaji dan mengabdi kepada Kiai Ismail bin Nawawi di Pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon. Sekembali dari Makkah, Kiai Amin kemudian menepati wasiat ayahandanya, dengan mengabdi kepada Kiai Ismail. Di pesantren Babakan, Amin muda dijuluki Santri Pinter, karena keluasan ilmu dan khazanah pesantren yang dikuasainya. Pengalaman bertahun-tahun mengaji di beberapa pesantren di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta tanah Hijaz menjadi pengalaman berharga yang membentuk pribadi serta kedalaman pengetahuan Kiai Amin.
Kiai Ismail bin Nawawi meninggal pada 1916. Kiai Amin didapuk menjadi penerus Kiai Ismail untuk mengasuh santri-santri di Pesantren Babakan. Kiai Amin bin Irsyad kemudian dijuluki sebagai Kiai Amin Sepuh, karena jalur silsilah keluarganya yang tersambung hingga Kiai Jatira dari Mijahan, yang mendirikan pesantren Babakan pada masa awal.
Kiai Pejuang
Kiai Amin sepuh mengobarkan semangat juang kepada santri-santrinya. Beliau menjadi barisan Kiai, yang mendukung perlawanan kaum santri dan pemuda pada 10 Nopember 1945 di Surabaya. Kiai Amin berangkat ke Surabaya bersama Kiai Abbas Buntet (1879-1946), Kiai Bisri Musthofa (1914-1977), Kiai Wahab Chasbullah (1888-1971), Kiai Bisri Syansuri (1886-1980) dan beberapa kiai lain, untuk membantu para santri melawan penjajah. Semangat berkobar para Kiai, setelah Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari menggemakan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah Belanda.
Kiai Amin bersama beberapa santri, melakukan perjalanan darat dengan kereta api menuju Leteh, Rembang, Jawa Tengah. Bersama rombongan, Kiai Amin bertemu dengan Kiai Bisri Musthofa untuk menyusun strategi menuju Surabaya. Kiai Amin merupakan salah satu Kiai yang ditunggu oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’arie, sebelum menetapkan tanggal pasti penyerbuan santri untuk mengobarkan perang terhadap pasukan NICA di Surabaya. Ilmu kanuragan yang dimiliki para Kiai digabung dengan keahlian bela diri, strategi perang, dan semangat juang santri menjadi modal utama para pemuda melawan penjajah Belanda pada masa awal kemerdekaan.
Dalam sebuah kisah yang diwartakan Kiai Abdul Mujib Ridlwan, putra KH Ridlwan Abdullah (pencipta lambang jagad NU). Kiai Abdul Mujib mengajukan sebuah pertanyaan dalam sebuah majelis. “Kenapa perlawanan rakyat Surabaya itu terjadi pada 10 Nopember 1945?. Kenapa tidak sehari atau dua hari sebelumnya, padahal pada waktu itu rakyat dan pemuda sudah siap?” tanya Kiai Abdul Mujib.
Karena tidak ada yang bisa menjawab, Kiai Abdul Mujib mengisahkan: “Pada saat itu, Kiai Hasyim Asy’arie belum mengizinkan kepada para santri melakukan pertempuran. Mengapa tidak diizinkan? Karena pada waktu itu, Kiai Hasyim Asy’ari menunggu kekasih Allah yang datang dari Cirebon untuk menjaga langit Surabaya. Yakni, Kiai Amin Sepuh Babakan Ciwaringin dan Kiai Abbas Abdul Jamil Pesantren Buntet,” kisah Kiai Abdul Mujib, sebagaimana ditulis Majalahlangitan.com (11/3/2015).
Pada saat mendengar pasukan Inggris akan mendarat di Surabaya, Kiai Amin menggelar rapat dengan kiai-kiai lain di kawasan Cirebon. Pertemuan ini diselenggarakan di kawasan Mijahan, Plumbon, Cirebon. Di antaranya kiai-kiai yang hadir, yakni Kiai Abbas Abdul Jamil Buntet, KH. Anshory Plered, Kiai Fathoni dan beberapa ulama lain. Pada pertemuan ini, dibahas beberapa point penting tentang posisi pesantren menghadapi penjajah dan strategi barisan santri pada masa awal kemerdekaan.
Pertemuan ini, berhasil membuat kesepakatan di antaranya majelis kiai, bahwa pesantren harus terlibat dalam perjuangan kemerdekaan. Selepas pertemuan ini, ditindaklanjuti dengan pengiriman laskar santri ke Surabaya untuk menghadang 6000 pasukan Brigade 49, Divisi 23. Pasukan NICA ini dipimpin oleh Brigadir Jendral AWS Mallaby.
Kiai Amin menjadi pejuang yang menggerakkan santri membela bangsa Indonesia melawan penjajah. Kiai Amin tidak tinggal diam di pesantren, namun terjun langsung untuk mengonsolidasi jaringan santri melawan penjajah di barisan depan.
Akibatnya, ketika Agresi Militer Belanda II, pada 1952, pesantren Babakan diserang Belanda. Bangunan pesantren Babakan dibumihanguskan oleh pasukan Belanda, hingga naskah-naskah penting dan kitab-kitab dibakar. Pada masa itu, perjuangan fisik untuk melawan penjajah Belanda masih dalam situasi mencekam. Baru pada 2 tahun kemudian, pada 1954, Kiai Sanusi—murid Kiai Amin Sepuh—kembali dari pengungsian. Kiai Sanusi mulai menata kembali bangunan pondok yang terbakar dan hancur berantakan. Pada 1955, setelah situasi kondusif, Kiai Amin Sepuh kembali ke pesantren Babakan.
Di bawah bimbingan Kiai Amin Sepuh, Pesantren Babakan menjadi rujukan para santri untuk belajar khazanah pengetahuan Islam. Santri-santri yang mengaji dan tabarrukan dengan Kiai Amin memenuhi pesantren, hingga dikenal sebagai salah satu pesantren besar di Jawa Barat. Beberapa santri Kiai Amin Sepuh, juga menjadi pengasuh pesantren di daerah masing-masing. Di antaranya: Kang Ayip Muh (Cirebon), KH. Syakur Yasin, KH. Abdullah Abbas (Buntet), KH. Syukron Makmun, KH. Amin Halim, KH. Mukhlas, KH. Syarif Hud Yahya dan beberapa santri senior lainnya.
Kiai Amin wafat pada 20 Mei 1972/16 Rabi’ul Akhir 1392H, yang disusul oleh Kiai Sanusi pada 1974. Kepemimpinan di pesantren Babakan Ciwaringin dilanjutkan oleh Kiai Fathoni Amin.
Kiai Amin sepuh menjadi bagian penting dari sejarah perjuangan ulama pesantren dalam mengawal NKRI. Kiai Amin juga menjadi khazanah Islam Nusantara, yang menautkan jejaring keilmuan antar pesantren, dari kawasan Nusantara hingga Hijaz di Timur Tengah. Sudah selayaknya, perjuangan Kiai Amin dan para kiai lainnya dalam membela bangsa dari penjajahan, mendapatkan pengakuan dalam narasi sejarah negeri ini[]. (Munawir Aziz)
Penulis adalah Wakil Sekretaris LTN PBNU, dan Dewan Redaksi Penerbit Mizan]
SELASA 5 JANUARI 2016 17:30 WIB
Kiai Jufri, Pejuang NU dan Saksi Sejarah PKI
Kiai Jufri, Pejuang NU dan Saksi Sejarah PKI
Kiai Jufri Marzuki (w. 1965), adalah pengasuh Pondok Pesantren As-Syahidul Kabir Sumber Batu Blumbungan Pamekasan Madura, Jawa Timur. Dakwahnya dalam bentuk pengajian-pengajian umum yang diselenggarakan masyarakat dan organisasi mampu memikat daya tarik masyarakat. Uraiannya tegas, lugas mengenai masalah-masalah agama dan mudah dipahami masyarakat awam.<>
Guyonan dan canda tawa yang ia selipkan di beberapa bagian ceramahnya membuat para hadirin yang hadir tidak merasa bosan untuk mengikuti pengajiannya (bahkan sambil berdiri) selama berjam-jam. Pantaslah ia selalu diundang bahkan keluar kabupaten Pamekasan. Di masanya, Kiai yang juga sebagai Rais Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama ini dikenal sebagai singa podium masyarakat Nahdlatul Ulama Kabupaten Pamekasan.
Sejarah mencatat bahwa pada era orde lama Partai Komunis Indonesia (PKI) masih diperkenankan keberadaannya sebagai salah satu partai politik di Indonesia. Kesaksian masyarakat juga banyak yang menyatakan bahwa para anggota PKI di berbagai daerah sering membuat keresahan dan keonaran terhadap kegiatan-kegiatan lawan politiknya. Tidak luput juga dengan kegiatan-kegiatan NU. Sering terjadi pengajian-pengajian yang diselenggarakan NU diganggu. Dari mulai sekedar melepaskan anjing ke tengah-tengah acara, sampai pada bikin onar di saat acara. Ya, memang begitulah PKI yang menghalalkan segala cara.
Suatu ketika, Kiai Jufri diundang oleh masyarakat Kecamatan Konang Kabupaten Sampang. Ia diminta untuk mengisi ceramah dalam sebuah pengajian yang diselenggarakan mereka. Kiai Jufri pun ingin memenuhi undangan tersebut. Ia hadir bersama ulama-ulama NU yang lain yang diundang juga dalam acara itu.
Pada waktu itu adalah tahun 1965. Tahun dimana Partai Komunis Indonesia ingin melaksanakan kudetanya. Juga tahun dimana PKI menjadi semakin kemaruk akan kekuasaannya. Sehingga, membawa senjata dalam setiap perjalanan dan bersikap siaga dalam segala keadaan adalah sesuatu yang lumrah.
Semua orang yang hadir mungkin tidak pernah menyangka bahwa ceramah pada malam itu adalah ceramah terakhirnya. Namun, sepertinya Kiai Jufri sudah berfirasat tidak baik sebelumnya. Ketika di tengah perjalanan (sebagaimana kebiasaan para kiai masa itu biasanya berkendaraan kuda dalam sebuah perjalanan), Kiai Jufri berkata pada kiai Mahfud yang menemaninya di perjalanan.
“Saya lupa tidak membawa ‘sekep’. Ketinggalan di rumah bagaimana ini?” katanya.
“Ya diambil saja mas, kondisi keamanan sekarang ini keadaannya berbahaya,” jawab Kiai Mahfud.
“Ah, tidaklah. Nanti acaranya segera mulai,” jawab Kiai Jufri menepis firasat tidak baiknya itu.
Dan kehendak Allah pun terjadi.
Ketika acara itu berakhir dan Kiai hendak pulang, ada seseorang yang mengaku bernama Sarfin berniat ingin menemaninya pulang. Dengan sifat santun dan ramahnya ia menawarkan sebuah tawaran. Hal ini adalah biasa di lingkungan masyarakat madura bahwa mengantar kiai adalah sebuah kehormatan bagi masyarakat kecil. Si Sarfin, pun diperkenankan untuk menemani Kiai Jufri pulang dengan menunggang kuda.
Di tengah perjalanan, mereka melewati sebuah kali (sungai). Kiai Jufri bilang pada sarfin bahwa ia mau turun sebentar untuk buang air kecil di kali itu. Ia menyuruh sarfin agar diam di situ dan menunggu kudanya.
Baru saja selesai ia ‘nekani hajat’, ketika tiba-tiba sebuah golok berukuran sedang sudah menancap di punggungnya. Dan ternyata orang bernama ‘sarfin’ itulah yang sengaja melakukannya. Si sarfin lalu lari meninggalkan tubuh Kiai Jufri yang sudah bersimbah darah itu.
Kiai Jufri, dengan simbahan darah yang terus mengalir masih kuat menahan sakit, ketika saat itu ada dua orang yang lewat yang juga baru pulang dari mengikuti pengajiannya. Ia berkata pada dua orang tersebut:
“Itu ada orang lari ke arah sana (sambil menunjuk sebuah arah jalan), ia telah menusukkan golok pada saya dari belakang,” kata Kiai Jufri.
Langsung saja kedua orang itu berteriak “maling..... maling......” untuk menarik perhatian masyarakat sambil lari ke arah jalan yang ditunjukkan Kiai Jufri tersebut. Masyarakatpun langsung datang dan sebagian ada yang mengurusi jasad Kiai Jufri dan sebagian lagi mengejar si pelaku. Kiai Jufri masih sempat dilarikan ke rumah sakit, namun nyawanya tidak tertolong lagi.
Lalu siapakah Sarfin itu? Masyarakat kemudian tahu dan mendengar kabar bahwa ia adalah suruhan PKI. Masyarakat juga mendengar berita bahwa ia dibayar PKI memang untuk membunuh kiai Jufri. Dan masyarakatpun juga mendengar berita juga bahwasanya ia tewas gantung diri sebelum mendapat bayaran itu.
Bagaimana dengan Kiai Jufri? Ia wafat di rumah sakit tersebut dan dimakamkan di pemakaman di Pesantrennya. Ribuan orang hadir dalam acara pemakamannya, mengiringi penguburan jasadnya. Tidak luput juga para pengurus NU dan ulama-ulama Madura juga hadir. Bahkan Kiai Idham Chalid mewakili Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) turut hadir dalam acara tersebut.
Ketika itu Kiai Idham Chalid menyampaikan sambutan dalam acara penghormatan terakhir terhadap jasad Kiai Jufri tersebut demikian:
“Kiai Jufri wafat karena saya, Beliau wafat karena membela NU, beliau wafat pun juga demi Islam. Sehinggga kewafatannya adalah Syahid dalam perjuangan yang besar,” katanya.
Dalam pada itu, untuk mengenag jasa Kiai Jufri, maka pesantrennya yang waktu itu belum punya nama diberilah nama oleh Kiai Idham dengan nama: “As-Syahid Al-Kabir.” Pihak keluarga, juga untuk mengenang jasa-jasa dan perjuangan Kiai Jufri itu, mengabadikan dan memuseumkan pakaian bersimbah darah yang dipakai kiai Jufri ketika peristiwa itu di pesantren tersebut.
Mungkin karena karena kenangan yang mendalam ini pula maka para putra dan cucu-cucu Kiai Jufri menjadi pengurus dan pejuang NU yang setia sampai saat ini. Begitulah Kiai Jufri, hidup dalam perjuangan, wafat dalam kemuliaan. Meninggalkan kenangan yang terukir dalam sejarah. (Ahmad Nur Kholis)
Sumber:
1. Buku Sejarah Masuk dan Perkmbangan NU di Pamekasan. Diterbitkan PCNU Kabupaten Pamekasan.
2. Penuturan lisan Nyai Jamilaturrahmah, santri Kiai Jufri Marzuki
3. Penuturan lisan beberapa masyarakat Pamekasan lainnya.
Kiai Jufri, Pejuang NU dan Saksi Sejarah PKI
Kiai Jufri Marzuki (w. 1965), adalah pengasuh Pondok Pesantren As-Syahidul Kabir Sumber Batu Blumbungan Pamekasan Madura, Jawa Timur. Dakwahnya dalam bentuk pengajian-pengajian umum yang diselenggarakan masyarakat dan organisasi mampu memikat daya tarik masyarakat. Uraiannya tegas, lugas mengenai masalah-masalah agama dan mudah dipahami masyarakat awam. Guyonan dan canda tawa yang ia selipkan di beberapa bagian ceramahnya membuat para hadirin yang hadir tidak merasa bosan untuk mengikuti pengajiannya (bahkan sambil berdiri) selama berjam-jam. Pantaslah ia selalu diundang bahkan keluar kabupaten Pamekasan. Di masanya, Kiai yang juga sebagai Rais Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama ini dikenal sebagai singa podium masyarakat Nahdlatul Ulama Kabupaten Pamekasan.
Sejarah mencatat bahwa pada era orde lama Partai Komunis Indonesia (PKI) masih diperkenankan keberadaannya sebagai salah satu partai politik di Indonesia. Kesaksian masyarakat juga banyak yang menyatakan bahwa para anggota PKI di berbagai daerah sering membuat keresahan dan keonaran terhadap kegiatan-kegiatan lawan politiknya. Tidak luput juga dengan kegiatan-kegiatan NU. Sering terjadi pengajian-pengajian yang diselenggarakan NU diganggu. Dari mulai sekedar melepaskan anjing ke tengah-tengah acara, sampai pada bikin onar di saat acara. Ya, memang begitulah PKI yang menghalalkan segala cara.
Suatu ketika, Kiai Jufri diundang oleh masyarakat Kecamatan Konang Kabupaten Sampang. Ia diminta untuk mengisi ceramah dalam sebuah pengajian yang diselenggarakan mereka. Kiai Jufri pun ingin memenuhi undangan tersebut. Ia hadir bersama ulama-ulama NU yang lain yang diundang juga dalam acara itu.
Pada waktu itu adalah tahun 1965. Tahun dimana Partai Komunis Indonesia ingin melaksanakan kudetanya. Juga tahun dimana PKI menjadi semakin kemaruk akan kekuasaannya. Sehingga, membawa senjata dalam setiap perjalanan dan bersikap siaga dalam segala keadaan adalah sesuatu yang lumrah.
Semua orang yang hadir mungkin tidak pernah menyangka bahwa ceramah pada malam itu adalah ceramah terakhirnya. Namun, sepertinya Kiai Jufri sudah berfirasat tidak baik sebelumnya. Ketika di tengah perjalanan (sebagaimana kebiasaan para kiai masa itu biasanya berkendaraan kuda dalam sebuah perjalanan), Kiai Jufri berkata pada kiai Mahfud yang menemaninya di perjalanan.
“Saya lupa tidak membawa ‘sekep’. Ketinggalan di rumah bagaimana ini?” katanya.
“ya diambil saja mas, kondisi keamanan sekarang ini keadaannya berbahaya,” jawab Kiai Mahfud.
“Ah, tidaklah. Nanti acaranya segera mulai,” jawab Kiai Jufri menepis firasat tidak baiknya itu.
Dan kehendak Allah pun terjadi.
Ketika acara itu berakhir dan Kiai hendak pulang, ada seseorang yang mengaku bernama Sarfin berniat ingin menemaninya pulang. Dengan sifat santun dan ramahnya ia menawarkan sebuah tawaran. Hal ini adalah biasa di lingkungan masyarakat madura bahwa mengantar kiai adalah sebuah kehormatan bagi masyarakat kecil. Si Sarfin, pun diperkenankan untuk menemani Kiai Jufri pulang dengan menunggang kuda.
Di tengah perjalanan, mereka melewati sebuah kali (sungai). Kiai Jufri bilang pada sarfin bahwa ia mau turun sebentar untuk buang air kecil di kali itu. Ia menyuruh sarfin agar diam di situ dan menunggu kudanya.
Baru saja selesai ia ‘nekani hajat’, ketika tiba-tiba sebuah golok berukuran sedang sudah menancap di punggungnya. Dan ternyata orang bernama ‘sarfin’ itulah yang sengaja melakukannya. Si sarfin lalu lari meninggalkan tubuh Kiai Jufri yang sudah bersimbah darah itu.
Kiai Jufri, dengan simbahan darah yang terus mengalir masih kuat menahan sakit, ketika saat itu ada dua orang yang lewat yang juga baru pulang dari mengikuti pengajiannya. Ia berkata pada dua orang tersebut:
“Itu ada orang lari ke arah sana (sambil menunjuk sebuah arah jalan), ia telah menusukkan golok pada saya dari belakang,” kata Kiai Jufri.
Langsung saja kedua orang itu berteriak “maling..... maling......” untuk menarik perhatian masyarakat sambil lari ke arah jalan yang ditunjukkan Kiai Jufri tersebut. Masyarakatpun langsung datang dan sebagian ada yang mengurusi jasad Kiai Jufri dan sebagian lagi mengejar si pelaku. Kiai Jufri masih sempat dilarikan ke rumah sakit, namun nyawanya tidak tertolong lagi.
Lalu siapakah Sarfin itu? Masyarakat kemudian tahu dan mendengar kabar bahwa ia adalah suruhan PKI. Masyarakat juga mendengar berita bahwa ia dibayar PKI memang untuk membunuh kiai Jufri. Dan masyarakatpun juga mendengar berita juga bahwasanya ia tewas gantung diri sebelum mendapat bayaran itu.
Bagaimana dengan Kiai Jufri? Ia wafat di rumah sakit tersebut dan dimakamkan di pemakaman di Pesantrennya. Ribuan orang hadir dalam acara pemakamannya, mengiringi penguburan jasadnya. Tidak luput juga para pengurus NU dan ulama-ulama Madura juga hadir. Bahkan Kiai Idham Chalid mewakili Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) turut hadir dalam acara tersebut.
Ketika itu Kiai Idham Chalid menyampaikan sambutan dalam acara penghormatan terakhir terhadap jasad Kiai Jufri tersebut demikian:
“Kiai Jufri wafat karena saya, Beliau wafat karena membela NU, beliau wafat pun juga demi Islam. Sehinggga kewafatannya adalah Syahid dalam perjuangan yang besar,” katanya.
Dalam pada itu, untuk mengenag jasa Kiai Jufri, maka pesantrennya yang waktu itu belum punya nama diberilah nama oleh Kiai Idham dengan nama: “As-Syahid Al-Kabir.” Pihak keluarga, juga untuk mengenang jasa-jasa dan perjuangan Kiai Jufri itu, mengabadikan dan memuseumkan pakaian bersimbah darah yang dipakai kiai Jufri ketika peristiwa itu di pesantren tersebut.
Mungkin karena karena kenangan yang mendalam ini pula maka para putra dan cucu-cucu Kiai Jufri menjadi pengurus dan pejuang NU yang setia sampai saat ini. Begitulah Kiai Jufri, hidup dalam perjuangan, wafat dalam kemuliaan. Meninggalkan kenangan yang terukir dalam sejarah. (Ahmad Nur Kholis)
Sumber:
1. Buku Sejarah Masuk dan Perkmbangan NU di Pamekasan. Diterbitkan PCNU Kabupaten Pamekasan.
2. Penuturan lisan Nyai Jamilaturrahmah, santri Kiai Jufri Marzuki
Post a Comment for "Perjuangan Kiai Subchi Melawan Penjajah"